NTT Express, MATIM - Program tanam 100.000 anakan bambu di tengah aliran sungai Wae Bobo diprotes oleh warga RT 016 RW 04 Kampung Bugis, Kelurahan Ranaloba, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Pasalnya, program penanaman 100.000 anakan bambu yang disebut merupakan program kerjasama antara pihak Yayasan Bambu Lestari dengan Dinas Kehutanan Provinsi NTT melalui kantor UPTD wilayah Kabupaten Manggarai Timur dengan pihak pemerintah Kecamatan Borong tersebut dilakukan tepat di tengah-tengah wilayah aliran sungai Wae Bobo.
Terkait persoalan tersebut, warga RT 016 Kampung Bugis yang bermukim di sekitar bantaran sungai Wae Bobo menilai bahwa program Yayasan Bambu Lestari itu tidak memiliki asas manfaat bahkan cenderung mengancam wilayah permukiman dengan radius kurang lebih 20 meter dari bantaran sungai.
Ketua RT 016 Kampung Bugis, Serilus A. Hani mengungkapkan kekhawatirannya apabila suatu saat anakan bambu yang telah ditanamkan di sungai itu, berpotensi menyempit wilayah aliran sungai hingga menyebabkan air sungai merusak sisih timur Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan radius 20 meter dari pemukiman warga.
"Suatu saat ketika bambu-bambu tumbuh besar maka akan mempersempit wilayah aliran sungai. Bukan tidak mungkin hal ini berpotensi untuk meluapkan air ke wilayah pemukiman warga terutama ketika banjir," jelas Ketua RT 016 saat ditemui bersama sejumlah warga, Kamis, (19/05/2022).
"Kami tidak menolak program ini. Hanya kami tidak sepakat ketika anakan bambu ini ditanam di tengah aliran sungai Wae Boboi," imbuh Serilus A. Hani, dengan raut wajah kesal.
Kepada NTT Express, Ketua RT, Serilus A. Hani menyampaikan sikap penolakan terhadap praktik taman bambu di tengah aliran sungai tersebut. Penanaman bambu di tengah sungai Wae Bobo, kata Serilus, "Dapat menyebabkan penyempitan sungai serta air akan mengalir ke wilayah RT 016 yang menurut saya akan menyebabkan banjir di dua wilayah RT yaitu RT 016 dan RT 015, RW 04," tegasnya.
"Khusus di wilayah RT 016 ini terdapat 86 kepala keluarga. Bayangkan ketika sungai sempat maka air akan meluap di wilayah tempat tinggal warga saya," pungkasnya.
Anselmus Ugat (67) tokoh masyarakat di RT 016 Kampung Bugis mengungkapkan sebelumnya sungai Wae telah dilakukan normalisasi guna meminimalisir bencana banjir yang kerap menghantam wilayah pemukiman warga di sekitar bantaran sungai Wae Bobo.
"Kami sebagai warga yang bermukim di sekitar bantaran sungai juga heran dengan penanaman anakan bambu di tengah sungai Wae Bobo. Karena sebelumnya sejak masa kepemimpinan mantan Bupati Manggarai Timur Yoseph Tote sungai ini dilakukan normalisasi guna mengantisipasi dampak banjir yang kerap menghantam wilayah pemukiman warga," ungkapnya.
Untuk diketahui, Yayasan Bambu lestari (YBL) sendiri merupakan suatu Yayasan non-profit yang bergerak dalam bidang dan peningkatan kualitas bambu untuk kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
YBLL berdiri sejak 1993 oleh Duta Bambu Indonesia Linda Garland dengan nama Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Pada tahun yang sama, langsung menginisiasi program penanaman bambu di wilayah Flores sebagai bentuk kegiatan recovery pasca gempa Flores pada tahun 1992.
Pada tahun 1995 YBL memulai bekerja sama dengan Pemerintah Nusa Tenggara Timur (NTT) meluncurkan Program Penanaman Sejuta Bambu di Flores.
Lingkup kegiatan dari YBLL mencakup pemberdayaan masyarakat yang didukung oleh penelitian-penelitian tentang bambu dan komponen-komponen pendukungnya, baik dari segi sosial-ekonomi, lingkungan hidup, maupun ilmu pengetahuan penunjang.
Sejauh ini, YBLL memiliki program 1000 desa bambu dan sudah mengembangkan sebuah sistem kehutanan bambu dengan nama Sistem Hutan Bambu Lestari (HBL) yang merupakan sistem kehutanan bambu rakyat untuk menopang industri bambu yang berkelanjutan di Indonesia.***