LARANTUKA-NTT EXPRESS- Tomas Duli Sogen (90), pria lansia tunanetra sebatang kara tinggal di gubuk reyot tua beratapkan daun lontar. Pria renta ini menetap di kebunnya yang berada di Kampung Lewokoli, Desa Aransina, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Jauh dari keramaian kampung, Tomas hidup dalam kesunyian dan kegelapan. Usianya yang telah uzur namun tetap bergelut dengan getirnya hidup dalam kesendirian.
Hal ini membuat saya dan beberapa rekan jurnalis terpanggil untuk menyambangi kakek Tomas di gubuknya. Kami pun memulai perjalanan dari Kota Larantuka menggunakan mobil menuju Desa Aransina, Jumat 17 Maret 2023, malam.
Kami menempu perjalan sejauh 35 kilometer dengan waktu tempu 90 menit dari Kota Larantuka hingga tiba di kampung. Jalan yang kami lalui pun telah beraspal mulus. Memudahkan kami tiba lebih cepat di Kampung Lewokoli daerah pedalaman.
Saat tiba Kampung Lewokoli, mobil yang kami bawa harus diparkir di halaman Kampung. Melanjutkan perjalanan lagi dengan berjalan kaki menuju kediaman Tomas yang berada di kebun, kurang lebih 300 meter dari permukiman warga kampung.
Menyisir malam dengan berjalan kaki, kami harus melewati lembah bermodalkan penerangan dari senter ponsel. Remang cahaya lampu senter dari ponsel memperlihatkan kondisi gubuk tua milik kakek Tomas.
Sekitar pukul 21:15 Wita kami tiba. Rupanya kakek Tomas masih berjaga-jaga.
"Buka saja”, serunya dari dalam pondok saat kami memanggilnya dari luar gubuk. Ia meminta kami untuk mendekat di gubuknnya.
Tomas mengarahkan kami pada dua lembar daun lontar yang bergelantungan. Tampak dua lembar daun lontar dililit dengan tali nilon berwarna biru. Dua daun lontar menjadi penutup pintu gubuknya.
Daun-daun lontar yang cukup lebar itu digeser ke samping. Cahaya lampu senter ponsel kami menembus isi dalam gubuknya. Rumah Tomas hanya berukuran 2×1 meter. Kondisi ini membuat kami harus jongkok untuk bisa masuk ke dalam rumahnya yang reyot ini.
Ia menyendengkan telinganya mendengar derap langkah kaki kami di dalam gubuknya. Dengan ramah, kakek Thomas mempersilahkan kami duduk di sampingnya.
Tepatnya pada bekas tempat penyimpanan hasil panen yang digunakan Tomas untuk tidur. Mata yang tak bisa melihat akibat kebutaan yang ia alami sejak 2014 lalu, tak membuat kakek Tomas merasa takut. Ia tetap ramah menyambut kehadiran kami.
"Morit Goe maka pi no, tidak jadi masalah. Mau susah juga tahan saja,” ungkapnya.
Ia mengatakan, setiap malam dirinya menggunakan pelita sebagai penerang. Bahkan, situasi gelap pun ia abaikan.
“Takut juga. Tapi mau bagaimana lagi. Kita harus kuat, no,” ujarnya menutup perbincangan kami malam itu.
Pria lansia ini memiliki gaya humor tersendiri. Mengundang gelak tawa kami yang pecahkan kesunyian malam. Waktu kian larut dan badan kami yang mulai lelah mengantarkan kami untuk beristirahat. Berdempatan di dalam gubuk tua tanpa tempat tidur.
Kira-kira waktu menunjukan pukul 05.00 Wita. Kami terbangun, saat suhu udara pagi yang dingin masuk melalui celah-celah gubuk bambu Sabtu 18 Maret 2023. Cahaya matahari pagi belum menyingsing. Hanya terdengar suara-suara kicauan burung dan derap langkah kakek Tomas yang menyalakan api.
Asap api menembus atap dan mengisi seluruh sisi gubuk daun lontarnya. Suhu udara pagi yang dingin perlahan kembali hangat. Pada bagian pintu, kedua lembar daun lontar pun sudah terbuka.
Di area depan pintu itu, terlihat seekor ayam jantan, seekor ayam betina dan 5 ekor anaknya mengerubungi bongkahan nasi sisa.
Cahaya yang mulai masuk perlahan menerangi seluruh isi gubuk. Ada satu tempat tidur yang tak layak. Juga beberapa potongan kayu dijadikan tempat rak gelas dan piring.
Rumah tak layak huni itu didiami kakek Thomas sejak 70 tahun lalu. Terlihat sosok berkulit putih mulus itu sedang duduk di area tungku yang berada persis didekat di tempat tidurnya
Di atas tungku, terlihat sebuah periuk mungil dengan tutupan yang sedang bergerak akibat gelembungan uap panas yang terhantar dari perapian di bawahnya. kakek Tomas Duli sapaan akrabnya sedang memasak.
“Saya hanya mengandalkan keluarga yang hantar beras no, minum air juga saya hanya mengandalkan air tadah hujan” bebernya sambil meniup api yang mulai padam.
Pada sisi kanan yang menempel pada dinding, terlihat sebuah piring, sebuah sendok, dan sebuah gelas. Berderet rapih dalam keadaan bersih. Tetes demi tes air jatuh dari peralatan makanan ke tanah. Kakek Tomas rupanya baru selesai mencuci perlengkapan makannya itu.
“Goe biho wata, taha mea (saya sedang masak,saya masak beras merah). Sarapan pagiku, nasi merah, sudah siap,” serunya sembari mengembangkan senyum manisnya dan memperlihatkan isi dalam periuk mungilnya yang kian mengering tersebut.
Dia lalu menggapai dua belahan bambu berukuran 30 cm (panjang). Bambu ini ia jadikan wadah untuk menyimpan air minum. Lalu terseok-seok merangkak keluar pondok.
“Sudah sangat lama saya tinggal di sini. Adem, nyaman, tidak terganggu oleh hiruk pikuk suasana di rumah dalam kampung. Bebas, dan saya menikmati itu. Pernah saya dibawa ke rumah oleh sanak keluargaku, namun saya pulang lagi ke sini, karena di sana saya tidak bebas,” kisahnya menjawab pertanyaan mengapa dirinya memilih tinggal di perkebunan yang telah menjadi hutan itu.
70 Tahun di Gubuk
Hidup sederhana dengan segala keterbatasan tak membuat kakek Tomas patah semangat. Pria lajang yang telah berusia senja ini menikmati situasi kesendirian di kebun yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya.
Tomas menguatkan dirinya sendiri. Bahwa kekurangan yang menimpahnya adalah kekuatannya. Kekuatan fisik yang terus menurun, mata yang buta dan pendengaran mulai tak jelas, tak membuat kakek Tomas berhenti memaknai kehidupan. Ia tetap hidup dan bertahan dalam keserderhanaan tanpa keluh.

Foto: Kakek Tomas Duli Soge, 70 tahun hidup di gubuk reyot (OLA KEDA/NTT EXPRESS)
Ia malah merasa lebih nyaman. Bahkan, Ia tetap memilih tinggal di hutan meski ia tidak mempunyai lahan pertanian. Pondoknya kian lapuk dan reyot karena kerap tertembus air hujan di kala musim datang hujan.
“Ada Tuhan yang selalu bersama saya, selalu menjaga, merawat, melindungi saya,” timpalnya sembari meragakan dirinya ketika berdoa.
Tak ada kecemasan sedikit pun yang ia tunjukan. Ia mengisahkan sejak mengalami kebutaan, dirinya malah tambah bersemangat menjalani sisa umurnya yang uzur. Gambaran ketekunan dirinya sebagai petani di usia muda, keuletan dia sewaktu berburu binatang, rupanya terus menghiasi ketidakberdayaan fisiknya kini.
“Sudah hampir 70-an tahun saya tinggal sendiri di sini. Tidak pernah sakit. Walau seorang diri saya selalu berdoa, menyanyi, kasih makan ayam, ambil air yang saya tadah dari daun, dahan kelapa,” tuturnya
"Jangan pernah risau dan putus asa menghadapi setiap perisitiwa hidup. Nikmatilah itu dengan riang, sebab ada Tuhan yang senantiasa menyertai kita," pesan kakek Tomas. (nex/01/ok)
Artikel Terkait
Anak 10 Tahun Jadi Korban Tanah Longsor di Colol, Manggarai Timur
Jaksa Kantongi Tersangka Dugaan Korupsi di Bank NTT
Bupati Manggarai Timur Ucapkan Duka Atas Korban Tanah Longsor Colol
Prakiraan Cuaca BMKG, Besok Tiga Wilayah di NTT Berpeluang Dilanda Hujan Deras
Ketika Warga Kupang Geram Lihat Jalan Rusak: Saat Pilkada Sok Peduli, Susah Malah Menghilang